Mafindo–Hoax, atau informasi palsu, telah menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di kalangan komunitas Perempuan.Sebuah studi oleh Kominfo menunjukkan bahwa 64% perempuan Indonesia pernah menerima hoax melalui media sosial.
Artikel kali ini akan mengulas tentang Tren Penyebaran Hoaks di kalangan komunitas Perempuan. Judul ini merupakan salah satu pembahasan dalam seminar Diseminasi Riset secara online bertajuk “Tren Bentuk-bentuk Praktik Misinformasi, Disinformasi & Malinformasi menjelang Pemilu 2024” yang diadakan oleh Cekfakta.com, platform kolaborasi Mafindo, AJI, dan AMSI, pada Rabu (13/3/2024).
Salah satu hasil riset yang dibiayai oleh Cekfakta.com serta didukung oleh Google News Initiative, disampaikan oleh Mungky Diana Sari, Fitrie Handayani, Vivien Sylvina, dan Ezmieralda Melissa.
Peneliti Mungky mengatakan, Riset ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kecakapan literasi media para anggota majelis taklim Perempuan dengan karakteristik komunitas berbeda menyikapi hoaks, baik dalam proses prebunking dan debunking.
Perempuan sebagai edukator utama di keluarga berperan kunci dalam mengajarkan ciri-ciri hoaks dan cara menghindarinya. Komunitas perempuan berbasis agama memiliki peran penting dalam gerakan sosial dan advokasi perubahan positif. Komunitas perempuan, termasuk majelis taklim, rentan menjadi sasaran penyebaran hoaks terutama terkait isu agama yang diafiliasikan dengan isu politik.
Temuan & Diskusi
Partisipan berasal dari majelis taklim dari tiga daerah di Indonesia, yaitu: Banten, D.I. Yogyakarta, Palembang, dan satu komunitas majelis taklim di luar negeri yaitu di Seoul. Tiap majelis taklim memiliki pendekatan yang beragam dalam menyikap hoax, mulai identifikasi, verifikasi, dan motivasi untuk merespon/tidak merespon hoax.
Temuan pertama pada Majelis Taklim An Nur (Cisauk, Banten), ditemukan Proses Identifikasi Hoaks: narasi tulisan, audio visual, tanda panah forwarded many times. Umumnya terbiasa melakukan verifikasi informasi melalui: media mainstream, media resmi terpercaya, sumber yang dipercaya (anggota keluarga/anak). Grup pengajian tidak/jarang ada hoax, karena takut dosa.
Baca Juga: Difabel Netra Rentan Terkena Hoaks Politik Visual
Proses debunking lebih terlihat melalui upaya kroscek informasi. Jika ada indikasi hoax, cenderung untuk menghindari kronfontasi untuk cenderung menghindari konflik dan menyukai hubungan yang harmonis (budaya feminis).
Temuan lainnya di Majelis Taklim Al Furqon (DI Yogyakarta), ditemukan Sebagian besar anggota dapat mengidentifikasi hoaks, kecuai beberapa anggota senior (usia >60th). Verifikasi informasi melalui: sumber yang dipercaya (anggota keluarga/anak/bu RT). Grup pengajian tidak ada hoax, namun info hoax kadang ada grup RT dengan anggota yang sama.
Proses debunking terutama dilakukan secara aktif oleh tokoh otoritas. Jika ada anggota grup yang terindikasi membagikan hoaks, teguran dilakukan secara ‘kekeluargaan’, pelaku dinasehati secara langsung atau melalui pesan pribadi (pengaruh budaya feminis dan collectivist, high context).
Berikutnya di Baitul Mukminin (Palembang, Sumsel), ditemukan ada dikotomi tentang pesan yang “forwarded many times” dalam identifikasi info hoax. Verifikasi informasi melalui: media mainstream (media konvensional spt TV lebih dipercaya), sumber yang dipercaya (anak/gen Z).
Baca Juga: Siaran Pers Mafindo: Hoaks Politik Meningkat Tajam Jelang Pemilu 2024, Ganggu Demokrasi Indonesia
Proses debunking: jika sudah pasti informasi hoax, langsung dikoreksi di grup (tanpa sungkan). Budaya Sumatra yang cenderung low-context serta partisipan yang homogen (agama, asal daerah, bahasa percakapan) membuat tidak banyak rintangan komunikasi yang rentan menimbulkan kesalahan persepsi.
Sedangkan di Majelis Taklim Rumaisha (Seoul, Korsel), ditemukan Identifikasi hoax: narasi berita, judul berita dan sumber berita. Verifikasi informasi melalui: sumber yang dipercaya (anggota keluarga/anak/bu RT). Grup pengajian tidak ada hoax, namun info hoax kadang ada grup RT dengan anggota yang sama.
Proses debunking terutama dilakukan secara aktif melalui website resmi (kominfo) dan sumber resmi. Proses prebunking terjadi melalui obrolan dalam keluarga, mengingatkan tentang ciri hoax dll. Budaya skeptis dan individual di Korea, kombinasi dengan budaya komunal asal Indonesia membuat anggota tidak mudah percaya dan crosscheck informasi secara mandiri.
Analisa Makro
Responden sudah menunjukkan kemampuan untuk melakukan proses debunking saat menghadapi hoaks, namun tidak terlihat secara aktif sudah melakukan proses prebunking. Majelis taklim perempuan bukanlah sarana utama dalam proses prebunking maupun debunking untuk menghadapi hoaks.
Budaya Indonesia yang cenderung collectivist dan high-context dan budaya perempuan Indonesia yang cenderung feminine secara dominan mempengaruhi cara anggota majelis taklim dalam menghadapi hoaks.
Jenis Hoax yang Menyasar Perempuan:
Kesehatan dan Kecantikan: Hoax tentang kesehatan dan kecantikan sering kali menargetkan perempuan dengan informasi yang menyesatkan tentang produk, perawatan, dan tips kesehatan. Contohnya, hoax tentang bahaya vaksin yang menyebabkan autisme, atau manfaat produk kecantikan yang tidak terbukti.
Keuangan: Hoax tentang investasi dan keuangan sering kali menargetkan perempuan dengan iming-iming keuntungan besar. Contohnya, hoax tentang skema ponzi atau investasi bodong yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda.
Politik dan Sosial: Hoax tentang politik dan sosial sering kali digunakan untuk menyebarkan kebencian dan perpecahan di masyarakat. Contohnya, hoax tentang SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) yang bertujuan untuk memprovokasi dan memicu konflik.
Dampak Hoax pada Perempuan
Hoax dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada perempuan, seperti Kecemasan dan stres: Hoax tentang kesehatan dan keamanan dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada perempuan. Kerugian finansial: Hoax tentang investasi dan keuangan dapat menyebabkan perempuan kehilangan uang. Perpecahan sosial: Hoax tentang politik dan sosial dapat memperparah polarisasi dan perpecahan di masyarakat.
Strategi Prebunking dan Debunking
Prebunking:
Meningkatkan literasi digital: Perempuan perlu di edukasi tentang cara mengidentifikasi hoax dan cara mencari informasi yang akurat. Membangun ketahanan komunitas: Komunitas perempuan dapat membangun sistem untuk saling memverifikasi informasi dan memerangi hoax. Mendukung organisasi pemeriksa fakta: Organisasi pemeriksa fakta seperti Mafindo: https://mafindo.or.id/ dan Cek Fakta: https://cekfakta.tempo.co/ perlu didukung dan dipromosikan.
Debunking:
Meluruskan informasi yang salah: Ketika hoax ditemukan, penting untuk segera meluruskan informasi yang salah dengan fakta yang akurat. Menyebarkan informasi yang benar: Informasi yang benar dan terpercaya perlu disebarkan secara luas untuk melawan hoax. Melaporkan hoax kepada pihak berwenang: Hoax dapat dilaporkan kepada pihak berwenang seperti Kominfo dan kepolisian.
Berbagai Hoax Yang Muncul Dikalangan Perempuan
Hoax tentang bahaya vaksin COVID-19 yang menyebabkan autisme telah beredar luas di media sosial. Hoax ini telah menyebabkan banyak perempuan ragu untuk divaksinasi, yang dapat membahayakan kesehatan mereka dan orang lain. Hoax tentang investasi bodong yang menjanjikan keuntungan besar juga sering menargetkan perempuan. Hoax ini telah menyebabkan banyak perempuan kehilangan uang dan mengalami kerugian finansial. Hoax tentang SARA juga sering digunakan untuk menyebarkan kebencian dan perpecahan di masyarakat. Hoax ini dapat memicu konflik dan kekerasan, yang dapat membahayakan perempuan dan anak-anak.
Penyebaran hoax di komunitas perempuan Indonesia merupakan masalah serius yang perlu diatasi. Strategi prebunking dan debunking dapat digunakan untuk melawan hoax dan melindungi perempuan dari dampak negatifnya.(DST)