Ekosistem Periksa Fakta di Asia Tumbuh di Tengah Meningkatnya Ancaman Terhadap Demokrasi
Forum on Fact Checking in Asia berlangsung pada tanggal 5-6 Oktober di GIS NTU Convention Center Taipei, mempertemukan organisasi periksa fakta dari India, Indonesia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang dan Filipina, sekaligus sebagai narasumber untuk memaparkan situasi, tantangan, dan apa yang sudah dilakukan di masing-masing negara. Forum ini juga diisi oleh perusahaan media sosial, Google, Facebook, Twitter, dan Line, dan juga akademisi terkemuka di level Asia. Forum ini adalah berbagi pengalaman dan tantangan, yang membuka jalan bagi kolaborasi antar negara di Asia, untuk memperkuat ekosistem periksa fakta di tengah meningkatnya ancaman terhadap demokrasi di era digital ini.
Forum ini diselenggarakan oleh Taiwan Factcheck Center dan dibuka oleh Prof Yuan-Hui Hu, Kepala The Association for Quality Journalism Taiwan, sekaligus profesor jurusan komunikasi, Chung-Cheng University, Chia-Yi, Taiwan, dengan Keynote berjudul, “Let fact-checking be the cornerstone of the development of democracy in Asia”
Sesi pertama dimoderatori oleh Dr. Chin-Chuan Lee, pengajar di National Chengchi University. Menghadirkan tiga narasumber dari Jepang dan Korea, Tateiwa Yoichiro dari Factcheck Initiative Japan, Daisuka Furuta pendiri Buzzfeed Japan, dan Gahyeok Lee ketua JTBC Fact Check. Dua narasumber dari Jepang menceritakan situasi di Jepang, berbagai issue disinformasi yang beredar, dan menjelaskan meskipun pada saat ini tidak banyak disinformasi beredar di Jepang karena sifat masyarakat Jepang yang enggan berbagi link berita atau berkomentar terhadap berita di media sosial, namun mereka merasa pentingnya menumbuhkan ekosistem periksa fakta, mengingat rendahnya kepercayaan masyarakat kepada media, dan kolaborasi adalah hal yang sangat penting. Gahyeok Lee bercerita tentang upaya periksa fakta di Korea Selatan yang dilakukan oleh televisi JTBC, mereka menjadikan periksa fakta sebagai program harian yang menjadi bagian dari program berita utama setiap jam 8 malam.
Sesi kedua dimoderatori oleh Prof Lihyun Lin dari National Taiwan University (NTU) yang menghadirkan Septiaji Eko Nugroho dari MAFINDO Indonesia dan Celine Isabelle Samson dari Verafiles Phillipines. Keduanya mempresentasikan ekosistem periksa fakta yang terbangun di kedua negara. Ekosistem Indonesia yang terbangun lebih awal dan menggunakan pendekatan multipronged-approach mendapat perhatian dari audiens, termasuk banyaknya kolaborasi dalam periksa fakta seperti CekFakta.com bersama 24 media online, dan inovasi dalam edukasi literasi digital, peningkatan kualitas jurnalisme serta strategi menembus polarisasi dengan gerakan silaturahmi, dan terbentuknya Hoax Crisis Center regional untuk melawan hoaks yang disertai pemahaman konteks lokalitas. Filipina bercerita tentang ekosistem yang semakin tumbuh, dengan terbentuknya kolaborasi antara organisasi periksa fakta dan media, Tsek.ph, yang terinsipirasi dari Cekfakta di Indonesia. Mereka juga menjelaskan topik penting apa saja yang menjadi penekanan dalam periksa fakta, seperti periksa fakta bagi tokoh publik.
Sesi ketiga dimoderatori oleh Tzen-Ping Su, Ketua Foundation for Excellent Journalims Award yang menghadirkan Jency Jacob, Managing Editor dari BOOM, organisasi periksa fakta di India. Jency menjelaskan perkembangan disinformasi di India, bagaimana lambatnya media arus utama merespons fenomena disinformasi, dan dampak dari disinformasi yang mengakibatkan konflik hingga lebih dari 30 orang meninggal karena issue penculikan anak, bahkan polisi yang tengah menyelamatkan korban hoaks yang tengah dikeroyok pun tak lepas dari amukan massa yang termakan issue hoaks. Hoaks di India sering muncul sebelum pemilu, dan ketika ada insiden yang menyangkut keamanan nasional, umumnya terkait issue India dan Pakistan, dan juga diakibatkan karena polarisasi yang semakin menajam antara masyarakat Hindu dan Muslim.
Sesi keempat dimoderatori oleh Xu -Tian Huang, seorang pegiat hukum, dengan narasumber Summer Chen dari Taiwan Fact Check Center, Billion Lee dari CoFact dan Chaohwei Hwang dari Chinese Televison System, ketiganya mewakili Taiwan. Di sesi ini terlihat bahwa ekosistem anti hoaks di Taiwan tumbuh sangat subur. CoFact bekerjasama dengan Line membangun chatbot antihoaks berbasis API dengan source code yang terbuka bagi publik, dan datanya pun juga terbuka untuk dianalisis oleh para peneliti. Taiwan Fact Check Center (TFC) muncul dari dengan sokongan kalangan akademisi, dan saat ini menjadi lembaga pertama yang mendapatkan sertifikasi IFCN, sehingga juga sudah menjadi pihak ketiga periksa fakta dalam platform Facebook. Saat ini TFC juga tengah membuat serangkaian workshop untuk memperkuat ekosistem periksa fakta di Taiwan. CTS sebagai salah satu TV di Taiwan juga rutin menyiarkan program periksa fakta sebagai upaya mengedukasi publik tentang pentingnya bersikap kritis menerima informasi, dan mengetahui issue hoaks terkini.
Sesi kelima dimoderatori oleh Shih-Hung Lo, Presiden Taiwan Media Watch, dengan narasumber perwakilan dari perusahaan media sosial. Tracy Huang dari Google Taiwan, Wanning Liao dari LINE, Max Chen dari Facebook Taiwan, dan Jun Chu dari Twitter untuk region Greater China. Mereka bercerita tentang upaya masing-masing dalam menyikapi maraknya penyebaran hoaks di Taiwan. LINE menjelaskan kolaborasi membuat chatbot dengan CoFact serta bagaimana membuat kampanye online untuk menjelaskan bagaimana publik bisa memanfaatkan chatbot ini untuk mencari tahu kebenaran sebuah informasi.
Sesi keenam dimoderatori oleh Shieu-Chi Weng, dengan narasumber Profesor J. Casey Hammond dari Singapore University of Technology and Design, Profesor Masato Kajimoto dari The University of Hongkong, dan Profesor Wei-Ching Wang dari National Taiwan Normal University. Pandangan akademik membahas keterkaitan antara upaya periksa fakta dalam upaya memperkuat demokrasi, dan bagaimana peluang dan tantangan untuk membangun kolaborasi transnasional dalam upaya periksa bersama di level Asia. Profesor Wei-Ching Wang menjelaskan tentang pentingnya menggunakan Artificial Intelligence untuk membantu upaya periksa fakta, dan memaparkan hasil penelitan di kampusnya terkait topik ini.
Sebagai forum pertama kali di Asia yang fokus membahas upaya periksa fakta, forum ini sangat penting bagi organisasi periksa fakta untuk saling berbagi pengalaman dan berkolaborasi, mengingat ancaman dari maraknya distorsi informasi yang bisa berakibat buruk bagi masyarakat dan masa depan bangsa. Dengan terbangunnya jejaring antar organisasi periksa fakta yang didukung oleh para akademisi dan juga perusahaan media sosial, diharapkan Asia mampu menjadi kawasan yang tetap damai di tengah badai kekalutan informasi digital ini.
Ketua Presidium MAFINDO
Septiaji Eko Nugroho