Bedah Buku

Bedah Buku (Bagian 1): Panduan Melawan Hasutan Kebencian (Edisi Perluasan)

By :

|

|

Mafindo–Buku ini adalah perluasan dari buku berjudul sama yang kami terbitkan pada 2019, yakni Buku Panduan Melawan Hasutan Kebencian. Dalam edisi baru ini, buku ini diperluas dengan menambah bab baru mengenai strategi prebunking, yang ditempatkan pada Bab V. Selain itu, beberapa updating yang dirasa perlu, termasuk dalam hal ilustrasi foto atau lainnya.

Buku edisi perluasan ini diterbitkan terutama karena kita akan memasuki masa-masa penuh hiruk-pikuk menjelang tahun Pemilu 2024. Seperti bisa diduga, masa-masa itu adalah masamasa genting makin luasnya ujaran dan hasutan kebencian, yang dapat memecahbelah kebersamaan kita sebagai satu bangsa.

Ucapan terima kasih kepada para penulis yang sudah berkolaborasi menyusun naskah buku panduan ini, termasuk edisi perluasannya: Rafsadie, Siswo Mulyartono dan Siti Nurhayati. Sementara itu, tim Mafindo terdiri dari: Agus Triyono, Loina Lalolo K. PeranginAngin, Jumrana, Nuril Hidayah, Petrus Eko Nugroho, Puradian Wiryadigda, Muhammad Khairil, Santi Indra Astuti, dan Purbowo. Penyelaras naskah Irsyad Rafsadie.

BAB 1  Memahami Hasutan Kebencian dan Hoaks

Pengertian Hasutan Kebencian dan Hoaks

Berbeda dengan hoaks atau informasi bohong yang pengertiannya cenderung lebih jelas dan terukur, tidak ada kesepakatan yang universal dan hitam putih mengenai pengertian hasutan kebencian. Hal ini sebagian dikarenakan perbedaan pendapat soal apakah hasutan kebencian harus dibatasi ataukah masih termasuk ekspresi yang dilindungi.
Terlepas dari itu, orang pada umumnya sepakat mengenai ancaman hasutan kebencian dan hoaks. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, hasutan kebencian dan hoaks dapat mengikis demokrasi dan merusak harkat martabat manusia. Meski demikian, tidak semua hasutan kebencian dan hoaks mesti diatasi dengan pembatasan atau pemidanaan.

Hasutan kebencian (hate speech)

Hasutan kebencian adalah ucapan atau tulisan yang dibuat seseorang di muka umum untuk menyebarkan dan menyulut kebencian suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda ras, agama, keyakinan, gender, etnisitas, disabilitas, dan orientasi seksual (Greenawalt,1989).

Panduan ini mengacu kepada definisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM, 2016) yang mengartikan hasutan kebencian secara lebih luas, sesuai instrumen hak asasi manusia internasional yang telah disahkan oleh Indonesia. Unsur-unsur pengertiannya dapat dirangkum sebagai berikut:

  • Segala bentuk komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung.
  • Didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, etnis, dan identitas lainnya.
  • Ditujukan sebagai hasutan terhadap individu atau kelompok agar terjadi diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan konflik sosial.
  • Dilakukan melalui berbagai sarana.

Hasutan kebencian menjadi berbahaya karena:

  • Merendahkan martabat manusia dan bahkan sering kali menyasar manusia yang sudah rentan dan terpinggirkan.
  • Menyuburkan prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda.
  • Dapat memicu kekerasan dan kejahatan kebencian, kerugian material dan korban kekerasan berbasis identitas seringkali lebih berat daripada kekerasan atau pidana biasa.
  • Dapat memicu konflik antarkelompok, dan paling buruk dapat menyebabkan pembersihan etnis atau genosida.
  • Bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Hoaks adalah informasi palsu atau berita bohong yang umumnya ditujukan untuk memperdaya orang banyak. Hoaks juga dapat ditujukan untuk mengaburkan informasi yang sebenarnya dengan cara membanjiri media dengan pesan yang salah agar menutupi pesan yang benar.

Hoaks sudah ada sejak dulu, tapi penyebarannya mulai marak terutama sejak media sosial populer digunakan oleh Masyarakat Indonesia. Maraknya peredaran informasi hoaks dipicu dua motif, yaitu ekonomi dan politik. Ada situs-situs Internet yang memang sengaja diisi dengan konten palsu yang penuh sensasi dengan tujuan mendapatkan kunjungan sebanyak mungkin.

Hoaks juga sering digunakan untuk memobilisasi pendukung dan menjatuhkan lawan politik dalam pemilu. Jika dibiarkan, hoaks yang terus diulang-ulang dapat menimbulkan perpecahan sesama anak bangsa. Karena itu, hoaks telah menjadi perhatian para pengambil kebijakan di tingkat nasional. Pemerintah dan lembaga masyarakat sipil kian menyadari pentingnya pemantauan dan pencegahan berita bohong tanpa sumber yang jelas, dengan judul provokatif dan mengandung fitnah.

Hasutan kebencian dan hoaks sering kali digunakan untuk melakukan pelintiran kebencian, dengan menyebarkan informasi yang direkayasa untuk mengobarkan ketersinggungan dan kebencian.

Konsep ini diperkenalkan Cherian George, profesor kajian media dari Universitas Hong Kong. Kata George, pelintiran kebencian menjadi strategi politik untuk memobilisasi massa pendukung dan menekan lawan politik. Misalnya adalah penyebaran informasi palsu bahwa kelompok lawan sudah melakukan penghinaan atau penodaan agama, yang ditujukan untuk mengobarkan ketersinggungan dan kemarahan kelompok pendukung agar menyerang kelompok lawan tersebut.

Hasutan Kebencian dan Hoaks di Media Sosial

Penggunaan sosial media memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif penggunaan sosial media antara lain memudahkan akses dan penyebaran informasi, memperluas jejaring, dan memunculkan komunitas dan aktivitas yang berdampak positif bagi masyarakat, seperti crowdfunding dan crowdsourcing.

Namun di sisi lain, penggunaan media sosial oleh pihak yang tidak bertanggung jawab juga dapat menimbulkan dampak negatif. Berbagai kejahatan dapat terjadi di dunia maya, yang saat ini dikenal dengan istilah kejahatan cyber, termasuk di antaranya hasutan kebencian dan hoaks.

Dengan kemajuan teknologi informasi saat ini, hasutan kebencian maupun hoaks kian mudah dilakukan. Media multiplatform turut andil dalam penyebarannya, termasuk juga media sosial yang makin meningkat penggunaannya. Fenomena memprihatinkan ini juga terjadi di Indonesia, yang persentase penggunaan medianya cukup tinggi (Maulana, 2017:210). Pengguna sering kali mudah terpancing untuk menanggapi atau menyebarkan hasutan kebencian dan kabar bohong, umumnya terkait masalah yang tengah menjadi sorotan publik, seperti kesehatan publik dan politik pada masa pemilu.

Bedah Buku
Gambar Platform media sosial yang paling banyak digunakan di dunia pada akhir 2022. Sumber: https://www.hootsuite.com/research/social-trends

Facebook menduduki urutan pertama, diikuti YouTube, WhatsApp, Instagram, WeChat, dan TikTok. Platform-platform ini jugalah yang kemungkinan besar akan paling banyak digunakan dalam mengonsumsi maupun menyebarkan konten hasutan kebencian maupun hoaks. Karena itu, platform-platform tersebut patut dipantau.

Bentuk konten hasutan kebencian dan hoaks yang disebarkan lewat Facebook biasanya memiliki ciri-ciri berikut (Zaman, 2014: 57): 1. Pesan berantai dengan menyertakan kalimat seperti, “Sebarkan ini ke semua orang yang Anda tahu. Jika tidak, sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi.” 2. Pesan tidak menyertakan identitas yang jelas, seperti tanggal kejadian atau keterangan yang dapat diverifikasi. Misalnya, “kemarin” atau “di suatu tempat…”.3. Pesan peringatan tidak memiliki tanggal kadaluarsa sehingga menimbulkan efek keresahan yang berkepanjangan. 4. Pesan tidak menyertakan organisasi yang menjadi sumber informasi. 5. Informasi di situs berita online yang tidak tepercaya, yang disebarluaskan melalui jejaring media sosial.

Hasutan kebencian tidak selalu berbentuk provokasi terangterangan, tapi kadang juga melibatkan hoaks atau informasi yang direkayasa, baik dengan cara memutarbalikkan fakta atau pun mengaburkan informasi, sehingga orang menjadi terhasut untuk marah atau menyerang kelompok lain atas dasar identitasnya.

Bedah Buku
Gambar Contoh hoaks dan hasutan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Sumber: https://turnbackhoax.id/2023/01/14/salah-ribuan-wna-china-diberiktp-elektronik-untuk-pemilu-2024

Beberapa Ketentuan Hukum Mengenai Hasutan Kebencian dan Hoaks Ada beberapa ketentuan hukum yang berkaitan dengan hasutan kebencian dan hoaks di Indonesia, antara lain:

  • Pasal 20 ayat (2) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 12/2005 menyatakan bahwa “segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.”
  • Pasal 4B Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras dan Etnis yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 4/2008 menyatakan bahwa semua propaganda yang mengobarkan dan menggalakkan diskriminasi rasial adalah ilegal.
  • Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan “Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau lebih golongan rakyat Indonesia dihukum dengan hukuman penjara…” dan “yang dimaksud dengan golongan adalah tiap-tiap bagian dan rakyat Indonesia yang berbeda satu dengan yang lainnya karena ras, negara asal, agama.”
  • Pasal 19 tahun 2016 tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa (1) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”, dan (2) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antara golongan” dapat dipidana.
  • Pasal 14 ayat (1) dan (2) Peraturan Hukum Pidana menyatakan bahwa “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya sepuluh tahun”, dan “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”
  • Beberapa sumber rujukan lain sebagai sumber bahan hukum antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun yang termasuk bahan hukum primer yaitu: UUD NRI 1945, UU No 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Pelanggaran terhadap beberapa aturan atau undang-undang di atas dapat diberi hukuman pidana jika terbukti dan unsurunsur pidananya terpenuhi. Hukuman pidana untuk penyebaran berita bohong sebagaimana diatur dalam KUHP/UU No. 1 Tahun 1946 pasal 14 dan/atau 15 misalnya pernah dijatuhkan kepada pelaku penyebar hoaks, Ratna Sarumpaet.

Namun, tidak semua hasutan kebencian atau kabar bohong harus diselesaikan lewat pemidanaan atau ditanggapi dengan tindakan yang sama. Meski semua hasutan kebencian dan kabar bohong pada dasarnya buruk, ancaman bahayanya berbeda-beda. Setiap tindakan mesti mempertimbangkan hal-hal ini. Tindakan yang paling tepat adalah yang tidak terlalu membatasi kebebasan berekspresi, tetapi dapat menangkal bahaya yang mungkin ditimbulkannya.

Upaya Penanggulangan Hasutan Kebencian dan Hoaks

Dalam melawan hasutan kebencian dan hoaks serta mencegah dampak negatifnya, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah telah membuat payung hukum yang mengatur hal tersebut, menindak pelaku penyebar hoaks, hingga membentuk organisasi siberkreasi yang berfokus dalam memberantas hoaks (Adityawarman, 2009). Namun perlu dipastikan aturan tersebut sejalan dengan UUD dan norma HAM internasional yang telah disahkan oleh pemerintah.

Aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab untuk menegakkan aturan-aturan yang ada tanpa melanggar hak asasi manusia. Selain itu, aparat juga memiliki tanggung jawab untuk mensosialisasikan aturan-aturan tersebut kepada masyarakat agar dapat lebih berhati hati dalam menanggapi suatu berita.

Selain pemerintah dan aparat penegak hukum, masyarakat terutama generasi muda juga memiliki tanggungjawab untuk ikut berperan aktif membantu pemerintah dalam menanggulangi dampak negatif penyebaran hasutan kebencian dan hoaks. Beberapa kelompok masyarakat dengan sukarela bergabung ke dalam kelompok maupun komunitas, seperti Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), dan Forum Antifitnah, Hasut dan Hoaks (FAFHH). Kedua kelompok tersebut berperan sebagai kelompok penekan dan pengontrol hoaks secara virtual.

Masyarakat harus dapat menanggapi segala sesuatunya dengan bijak, cermat, serta lebih berhati-hati saat menerima suatu informasi agar tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang belum pasti kebenarannya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan masyarakat untuk menanggulangi penyebaran hasutan kebencian dan hoaks antara lain melakukan pengecekan terhadap sumber informasi, memastikan fakta, serta membedakan fakta dengan opini.

Terakhir, penanggulangan hasutan kebencian dan hoaks harus bermuara pada penguatan budaya demokrasi dan bukan justru malah mengikisnya. Terlebih, saat ini masyarakat sudah makin sadar akan haknya dalam mendapatkan dan menyebarkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat dan merupakan komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk membangun masyarakat yang demokratis, perlu upaya berkelanjutan untuk memperkuat sistem media dan informasi yang dijamin undangundang, serta ditunjang oleh faktor-faktor lain seperti tingkat literasi, kepemimpinan politik, stabilitas politik, serta kredibilitas lembaga pembuat dan penyebar informasi.(Bersambung)



Rekomendasi Publikasi

Share